Monday, December 17, 2007

Cats













Aneh...
















korban overdosis


war in the city


muspro

kurang kerjaan


bibit unggul


Friday, December 14, 2007

Kuliah geologi dasar

Salah satu mata kuliah wajib geofisika semester 1 adalah geologi dasar. Sedangkan geologi sendiri termasuk dalam fakultas teknik. Maka dari itu dosennya juga orang teknik. Dosenku, Pak Shalahuddin Husein, harus datang ke fakultas mipa untuk mengajar anak2 geofisika. Tetapi sepertinya hal itu dirasa kurang nyaman, karena dosennya sendiri yang mendatangi mahasiswanya. Maka dari itu, setelah mid semester pertama, kamilah yang datang ke gedung teknik. Bayangkan saja, kuliah jam pertama di gedung mipa lantai tiga. Lalu kuliah geologi adalah mata kuliah kedua hari itu, tempatnya ada di komplek teknik, lantai tiga juga. Capek juga naik turun gedung. Mana dari mipa ke teknik harus naik motor. Soalnya kalo jalan dijamin capek. Meski begitu, itu tak terlalu membebani mahasiswa ataupun dosen kok. Kuliah tetap jalan.

Dalam setiap kuliah, dosen kami Pak Udin (panggilan akrabnya) selalu menampilkan slide powerpoint yang isinya materi kuliah hari itu. Dan suatu keharusan bagi kami untuk mengkopi file presentasi yang sudah diconvert ke pdf. Kira-kira semuanya ada 15. Artinya, selama semester 1 ada minimal 15 kali pertemuan. Mungkin file inilah yang akan menjadi bahan belajar buat anak2 geofisika di rumah. Terutama menjelang mid ataupun ujian akhir semester. Tanpanya, dijamin susah belajar. Karena, kebiasaan kopi-mengkopi bagai hal yang wajib. Semua anak punya sendiri. Makanya file itu harus dipunyai oleh siapapun yang diajar Pak Udin. Omong-omong, biasanya file itu didapat setelah diajarkan di kelas. Tetapi sekarang file itu bisa didapat dan dipelajari lebih awal untuk persiapan sebelum kuliah. Ho3...

Bab 1 Introduction to Basic Geology
Bab 2 Mineral
Bab 3 Batuan beku
Bab 4 Batuan sedimen

Thursday, December 13, 2007

Tipe-tipe metamorfisme

Batuan metamorf juga disebut batuan malihan, hasil dari perubahan-perubahan fundamentil batuan-batuan yang sebelumnya telah ada. Metamorf terjadi dalam suatu lingkungan yang sangat berbeda di mana batuan asalnya terbentuk dan proses rekristalisasi di dalam kerak bumi (3 – 20 km) yang keseluruhannya atau sebagian besar terjadi dalam keadaan padat, yakni tanpa fasa cair. Artinya, batuan metamorf terbentuk oleh proses metamorfosa pada batuan yang telah ada sebelumnya sehingga mengalami perubahan komposisi mineral, struktur, dan tekstur tanpa mengubah komposisi kimia dan tanpa melalui fase cair. Keseluruhan proses ini terjadi pada tekanan dan temperatur, dan fluida, atau variasi dari ketiga faktor tersebut tertentu, sehingga terbentuk struktur dan mineralogi baru yang sesuai dengan lingkungan fisik baru. Proses ini merupakan proses isokimia (tidak terjadi penambahan unsur-unsur kimia pada batuan.


Tipe-tipe Metamorfisme

Berdasarkan proses dan cara pembentukannya, secara umum batuan metamorf terbagi menjadi tiga, yaitu:

Metamorf Kontak atau Termal
Metamorfosa kontak terjadi pada kontak sebuah intrusi magma atau lava melalui celah-celah atau lorong-lorong magma, sehingga terjadi kenaikan suhu pada jalur tersebut. Dan panas akan diteruskan ke batuan sekitarnya, hal ini terjadi pada tekanan rendah dan temperatur tinggi. Proses yang terjadi adalah rekristalisasi dan reaksi antara mineral dan larutan magmatik serta penggantian dan penambahan mineral.

Metamorf Dinamik
Metamorf dinamik terjadi pada dislokasi atau deformasi lokal yang intensif, dimulai dengan breksipatahan, kemudian milonit; dan terjadi pada temperatur rendah dan tekanan rendah. Proses yang terjadi adalah perubahan mekanis pada batuan, tidak terjadi rekristalisasi kecuali pada tingkat lonitik.

Metamorf Regional
Metamorf Regional terjadi pada daerah-daerah yang lebih luas akibat pembentukan pegunungan, dibandingkan dengan tipe-tipe metamorf lainnya dan berkaitan erat dengan orogenesis dan deformasi. Perubahan terutama disebabkan dominan oleh tekanan. Tekanan hidrostatik dan tekanan terarah terjadi pada metamorf regional sehingga terjadi skintositas, temperatur rendah hingga tinggi, tekanan rendah hingga tinggi.

Selain itu, ada beberapa penyebab lain yang ikut membentuk tipe batuan metamorf, yaitu:

Metamorf burial
Metamorf burial terjadi karena tekanan lithostatik pada timbunan sedimen dan batuan vulkanik, tekanan berpengaruh besar pada proses ini.

Metamorf metasomatik
Metamorf metasomatik terjadi karena perubahan komposisi kimia suatu batuan.

Metamorf Benturan
Metamorf benturan, terjadi akibat benturan dengan meteorit.

Berbagai macam proses yang terjadi pada pembentukan batuan metamorf mempengaruhi rupa atau bentuk batuan itu. Salah satunya adalah tekstur. Tekstur pada batuan metamorf disebut dengan mineral metamorf yang terjadi karena kristalnya tumbuh dalam suasana padat oleh karena itu disebut dengan blastos atau blastik/idioblastik. Pada dasarnya tekstur pada batuan metamorf terbagi menjadi karena proses rekristalisasi yaitu perubahan butiran halus menjadi kasar dan proses reorientasi terbagi ke dalam skistositas atau foliansi terjadi oleh karena mineral yang pipih atau membentang tersusun dalam bidang-bidang tertentu yakni bidang sekistsis. Biang ini dapat searah dengan lapisan sedimen asalnya atau searah dengan sumbu lipatannya. Kristal yang ukurannya besar disebut profiroblastik.
Contohnya yaitu dalam golangan metamorf dinamik, tak jarang batuan mengalami hancuran yang fragmental sifatnya.

Wednesday, December 12, 2007

Bahaya Liberalisme

BAHAYA FIRQAH LIBERAL
Oleh Abu Hamzah Agus Hasan Bashari



PENDAHULUAN

Islam adalah dien al-haq yang diwahyukan oleh Allah Ta'ala kepada Rasul-Nya yang terakhir Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

"Artinya : Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi." [Al-Fath : 28]

Sebagai rahmat bagi semesta alam

"Artinya : Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." [Al-Anbiya :107]

Dan sebagai satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah Ta'ala.

"Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." [Ali-Imran : 19]
Islam adalah agama yang utuh yang mempunyai akar, dimensi, sumber dan pokok-pokok ajarannya sendiri. Siapa yang konsisten dengannya maka ja termasuk Al-Jama’ah atau Firqah Najiyah (kelompok yang selamat) dan yang keluar atau menyimpang darinya maka ja termasuk firqaih-firqah yang halikah (kelompok yang binasa).

Diantara firqah halikah adalah firqah Liberaliyah. Liberaliyah adalah sebuah paham yang berkembang di Barat dan memiliki asumsi, teori dan pandangan hidup yang berbeda. Dalam tesisnya yang berjudul “Pemikiran Politik Barat” Ahmad Suhelani, MA menjelaskan prinsip-prinsip pemikiran ini. Pertama, prinsip kebebasan individual. Kedua, prinsip kontrak sosial. Ketiga, prinsip masyarakat pasar bebas. Keempat, meyakini eksistansi Pluralitas Sosio - Kultural dan Politik Masyarakat. [Gado-Gado Islam Liberal; Sabili no 15 Thn IX/81]

Islam dan Liberal adalah dua istilah yang antagonis, saling berhadap-hadapan tidak mungkin bisa bertemu. Namun demikian ada sekelompok orang di Indonesia yang rela menamakan dirinya dengan Jaringan Islam Liberal (JIL). Suatu penamaan yang “pas” dengan orang-orangnya atau pikiran-pikiran dan agendanya. Islam adalah pengakuan bahwa apa yang mereka suarakan adalah haq tetapi pada hakikatnya suara mereka itu adalah bathil karena liberal tidak sesuai dengan Islam yang diwahyukan dan yang disampaikan oleh Rasul Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi yang mereka suarakan adalah bid’ah yang ditawarkan oleh orang-orang yang ingkar kepada Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.

Maka dalam makalah ini akan kita uraikan sanad (asal usul) firqah liberal (kelompok Islam Liberal atau Kelompok kajian utan kayu), visi, misi agenda dan bahaya mereka.


SANAD (ASAL-USUL) FIRQAH LIBERAL

Islam liberal menurut Charless Kurzman muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan pemurnian, kembali kepada al-Qur’an dan sunnah. Pada saat ini muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.

Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam [Charless Kurzman: xx-xxiii]

Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-18..) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris. Pada tahun 1877 ja membuka suatu kolese yang kemudian menjadi Universitas Aligarh (1920). Sementara Amir Ali (1879-1928) melalui buku The Spirit of Islam berusaha mewujudkan seluruh nilai liberal yang dipuja di Inggris pada masa Ratu Victoria. Amir Ali memandang bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Pelopor Agung Rasionalisme [William Montgomery Waft: 132]

Di Mesir muncullah M. Abduh (1849-1905) yang banyak mengadopsi pemikiran mu’tazilah berusaha menafsirkan Islam dengan cara yang bebas dari pengaruh salaf. Lalu muncul Qasim Amin (1865-1908) kaki tangan Eropa dan pelopor emansipasi wanita, penulis buku Tahrir al-Mar’ah. Lalu muncul Ali Abd. Raziq (1888-1966). Lalu yang mendobrak sistem khilafah, menurutnya Islam tidak memiliki dimensi politik karena Muhammad hanyalah pemimpin agama. Lalu diteruskan oleh Muhammad Khalafullah (1926-1997) yang mengatatan bahwa yang dikehendaki oleh al-Qur’an hanyalah system demokrasi tidak yang lain.[Charless: xxi,l8]

Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis, ia menggagas tafsir al-quran model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya Ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern. Dan ingin mempersatukan keanekaragaman pemikiran Islam dengan keanekaragaman pemikiran diluar Islam. [Mu’adz, Muhammad Arkoun Anggitan tentang cara-cara tafsir al-Qur’an, Jurnal Salam vol.3 No. 1/2000 hal 100-111; Abd. Rahman al-Zunaidi: 180; Willian M Watt: 143]

Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur’an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur’an adalah ideal moralnya karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan.[Fazhul Rahman: 21; William M. Watt: 142-143]

Di Indonesia muncul Nurcholis Madjid (murid dari Fazlur Rahman di Chicago) yang memelopori gerakan firqah liberal bersama dengan Djohan Efendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wachid [Adiyan Husaini dalam makalah Islam Liberal dan misinya menukil dari Greg Barton, Sabili no. 15: 88]

Nurcholis Madjid telah memulai gagasan pembaruannya sejak tahun l970-an. Pada saat itu ia telah rnenyuarakan pluralisme agama dengan menyatakan: “Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh diatas dasar paham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengarah kepada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama” [Nurcholis Madjid : 239]

Lalu sekarang muncullah apa yang disebut JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menghasung ide-ide Nurcholis Madjid dan para pemikir-pemikir lain yang cocok dengan pikirannya.

Demikian sanad Islam Liberal menurut Hamilton Gibb, William Montgomery Watt, Chanless Kurzman dan lain-lain. Akan tetapi kalau kita urut maka pokok pikiran mereka sebenarnya lebih tua dari itu. Paham mereka yang rasionalis dalam beragama kembali pada guru besar kesesatan yaitu Iblis La’natullah ‘alaih. (Ali Ibn Abi aI-’Izz: 395) karena itu JIL bisa diplesetkan dengan “Jalan Iblis Laknat”. Sedang paham sekuleris dalam bermasyarakat dan bernegara berakhir sanadnya pada masyarakat Eropa yang mendobrak tokoh-tokoh gereja yang melahirkan moto Render Unto The Caesar what The Caesar’s and to the God what the God’s (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan). Muhammad Imarah : 45) Karena itu ada yang mengatakan: “Cak Nur Cuma meminjam pendekatan Kristen yang membidani lahirnya peradaban barat” Sedangkan paham pluralisme yang mereka agungkan bersambung sanadnya kepada lbn Arabi (468-543 H) yang merekomendasikan keimanan Fir’aun dan mengunggulkannya atas nabi Musa 'alaihis salam [Muhammad Fahd Syaqfah: 229-230]


MISI FIRQAH LIBERAL

Misi Firqah Liberal adalah untuk menghadang (tepatnya : rnenghancurkan) gerakan Islam fundamentalis. mereka menulis: “sudah tentu, jika tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dominannya pandangan keagamaan yang militan itu, boleh jadi, dalam waktu yang panjang, pandangan-pandangan kelompok keagamaan yang militan ini bisa menjadi dominan. Hal ini jika benar terjadi, akan mempunyai akibat buruk buat usaha memantapkan demokratisasi di Indonesia. Sebab pandangan keagamaan yang militan biasanya menimbulkan ketegangan antar kelompok-kelompok agama yang ada. Sebut saja antara Islam dan Kristen. Pandangan-pandangan kegamaan yang terbuka (inklusif) plural, dan humanis adalah salah satu nilai-nilai pokok yang mendasari suatu kehidupan yang demokratis.”

Yang dimaksud dengan Islam Fundamentalis yang menjadi lawan firqah liberal adalah orang yang memiliki lima ciri-ciri,yaitu.

[1]. Mereka yang digerakkan oleh kebencian yang mendalam terhadap Barat
[2]. Mereka yang bertekad mengembalikan peradaban Islam masa lalu dengan membangkitkan kembali masa lalu itu
[3]. Mereka yang bertujuan menerapkan syariat Islam
[4]. Mereka yang mempropagandakan bahwa islam adalah agama dan negara
[5]. Mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun (petunjuk) untuk masa depan.

Demikian yang dilontarkan mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon [Muhammad Imarah : 75]


AGENDA DAN GAGASAN FIRQAH LIBERAL

Dalam tulisan berjudul “Empat Agenda islam Yang Membebaskan; Luthfi Asy-Syaukani, salah seorang penggagas JIL yang juga dosen di Universitas Paramadina Mulya memperkenalkan empat agenda Islam Liberal.

Pertama : Agenda politik. Menurutnya urusan negara adalah murni urusan dunia, sistem kerajaan dan parlementer (demokrasi) sama saja.

Kedua : Mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya perlu pencarian teologi pluralisme mengingat semakin majemuknya kehidupan bermasyarakat di negeri-negeri Islam.

Ketiga : Emansipasi wanita dan

Keempat : Kebebasan berpendapat (secara mutlak).

Sementara dari sumber lain kita dapatkan empat agenda mereka adalah.
[1]. Pentingnya konstekstualisasi ijtihad
[2]. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
[3]. Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama
[4]. Permisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara
[Lihat Greg Bertan, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pustaka Antara Paramadina 1999: XXI]


BAHAYA FIRQAH LIBERAL

[1]. Mereka tidak menyuarakan Islam yang diridhai oleh Allah AzZa wa Jalla, tetapi menyuarakan pemikiran-pemikiran yang diridhai oleh Iblis, Barat dan pan Thaghut lainnya.

[2]. Mereka lebih menyukai atribut-atribut fasik dari pada gelar-gelar keimanan karena itu mereka benci kepada kata-kata jihad, sunnah, salaf dan lain-lainnya dan mereka rela menyebut Islamnya dengan Islam Liberal. Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Artinya : Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman". [Al-Hujurat : 11]

[3]. Mereka beriman kepada sebagian kandungan al-Qur’an dan meragukan kemudian menolak sebagian yang lain, supaya penolakan mereka terkesan sopan dan ilmiyah mereka menciptakan “jalan baru” dalam menafsiri al-Qur’an. Mereka menyebutnya dengan Tafsir Kontekstual, Tafsir Hermeneutik, Tafsir Kritis dan Tafsir Liberal
Sebagai contoh, Musthofa Mahmud dalam kitabnya al-Tafsir al-Ashri-li al-Qur’an menafsiri ayat (Faq tho 'u aidiyahumaa) dengan “maka putuslah usaha mencuri mereka dengan memberi santunan dan mencukupi kebutuhannya.” [Syeikh Mansyhur Hasan Salman, di Surabaya, Senin 4 Muharram 1423]

Dan tafsir seperti ini juga diikuti juga di Indonesia. Maka pantaslah mengapa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Artinya : Yang paling saya khawatirkan atas adaalah orang munafik yang pandai bicara. Dia membantah dengan Al-Qur’an."
Orang-orang yang seperti inilah yang merusak agama ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Mereka mengklaim diri mereka sebagai pembaharu Islam padahal merekalah perusak Islam, mereka mengajak kepada kepada Al-Qur’an padahal merekalah yang mencampakkan Al-Qur’an”

Mengapa demikian ? Karena mereka bodoh terhadap sunnah. [Lihat Ahmad Thn Umar al-Mahmashani: 388-389]

[4]. Mereka menolak paradigma keilmuwan dan syarat-syarat ijtihad yang ada dalam Islam, karena mereka merasa rendah berhadapan dengan budaya barat, maka mereka melihat Islam dengan hati dan otak orang Barat.

[5]. Mereka tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan seluruh orang-orang mukmin. Bagi mereka pemahaman yang hanya mengandalkan pada ketentuan teks-teks normatif agama serta pada bentuk-bentuk Formalisme Sejarah Islam paling awal adalah kurang memadai dan agama ini akan menjadi agama yang ahistoris dan eksklusif (Syamsul Arifin; Menakar Otentitas Islam LiberaL .Jawa Pos 1-2-2002). Mereka lupa bahwa sikap seperti inilah yang diancam oleh Allah:
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." [An-Nisaa’ 115].

[6]. Mereka tidak memiliki ulama dan tidak percaya kepada ilmu ulama. Mereka lebih percaya kepada nafsunya sendiri, sebab mereka mengaku sebagai “pembaharu” bahkan “super pembaharu” yaitu neo modernis. Allah berfirman:
“Artinya : Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi," mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka, "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman," mereka menjawab, "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman." Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. [Al-Baqarah 11-13]

[7]. Kesamaan cita-cita mereka dengan cita-cita Amerika, yaitu menjadikan Turki sebagai model bagi seluruh negara Islam. Prof. Dr. John L. Esposito menegaskan bahwa Amerika tidak akan rela sebelum seluruh negara-negara Islam tampil seperti Turki.

[8]. Mereka memecah belah umat Islam karena gagasan mereka adalah bid’ah dan setiap bid’ah pasti memecah belah.

[9]. Mreka memiliki basis pendidikan yang banyak melahirkan pemikir-pemikir liberal, memiliki media yang cukup dan jaringan internasional dan dana yang cukup.

[10]. Mereka tidak memiliki manhaj yang jelas sehingga gagasannya terkesan “asbun” dan asal “comot” . Lihat saja buku Charless Kurzman, Rasyid Ridha yang salafi (revivalis) itupun dimasukkan kedalam kelompok liberal, begitu pula Muhammad Nashir (tokoh Masyumi) dan Yusuf Qardhawi (tokoh Ihwan al-Muslimin). Bahayanya adalah mereka tidak bisa diam, padahal diam mereka adalab emas, memang begitu berat jihad menahan lisan. Tidak akan mampu melakukannya kecuali seorang yang mukmin.
"Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengucapkan yang baik atau hendaklah ia diam." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim] (Lihat Husain al-Uwaisyah: 9 dan seterusnya]. Ahlul batil selain menghimpun kekuatan untuk memusuhi ahlul haq. Allah ta'ala berfirman:
"Artinya : Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. JIka kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar." [Al-Anfaal : 73]
Sementara itu Ustadz Hartono Ahmad Jaiz menyebut mereka berbahaya sebab mereka itu “sederhana” tidak memiliki landasan keilmuwan yang kuat dan tidak memiliki aqidah yang mapan. [Lihat Bahaya Islam Liberal: 40, 64-65]

(http://www.almanhaj.or.id)

Monday, December 10, 2007

Filsafat? Waspadalah!

Salah satu mata kuliah yang bisa dikatakan wajib untuk semua program studi di UGM adalah Pancasila. Termasuk program studiku. Nah... Tempat kuliahnya itu di fakultas filsafat. Termasuk dosennya juga dari sana. Di sini bukannya pancasila yang mau dibahas, tetapi filsafatnya itu.
Selama hampir satu semester ini, kuliah pancasila kelasku diajar oleh dosen filsafat. Nah, masalahnya beliau sering menyinggung tentang agama, terutama Islam. Dan beliau juga menjelek-jelekkan Islam walaupun secara implisit. Padahal beliau sendiri orang Islam. Apakah ini ada hubungannya dengan ilmu filsafat itu sendiri. Mungkin saja, karena beliau memang lulusan filsafat. Secara akal, ucapan-ucapan beliau memang tampak benar, tetapi selalu saja terasa mengganjal. Memangnya, ada apa di balik filsafat? Baik atau burukkah?


Nalar dan wahyu


Filsafat dan agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya. Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi kekurang-jelasan dan ketidakpastian, mengapa lalu orang masih sibuk dengan agama? Itulah pertanyaan yang tidak jarang dikemukakan oleh orang bertakwa terhadap usaha para filosof.

Itu memang ada benarnya. Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong. Filsafat juga dapat membuat orang menjadi sombong, seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya, seakan-akan ia pasti lebih maju daripada orang yang saleh.

Akan tetapi, di lain fihak, orang yang bicara atas nama agama juga dapat berdosa karena sombong. Meskipun yang mau dibicarakan adalah wahyu Allah, namun ia dapat lupa bahwa ia sendiri tetap manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhdap wahyu itu.

Jadi, dengan cara mengadakan "perhitungan", kita tidak akan maju jauh. Akan tetapi, pertanyaan di atas tetap perlu kita jawab. Apakah fungsi filsafat dalam berhadapan dengan agama yang menimba pengertiannya dari wahyu Allah ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu terlebih dahulu membicarakan hubungan antara wahyu dan akal budi.

I. Tiga pandangan ekstrem

Untuk membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia, sebaiknya kita bertolak dari tiga pandangan ekstrem tentang hubungan itu. Masing-masing pandangan hanya menekankan satu segi dan melalaikan segi-segi lainnya. Tiga pandangan itu adalah Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme.

Sikap rasional tidak menuntut agar segala sikap harus dibuktikan secara lengkap atau "ilmiah. " Sikap rasional justru menerima keterbatasan seseorang dalam memastikan kebenaran suatu masalah. Dalam hampir semua pengandaian hidup, kita tergantung kepada pengertian dan kepastian orang lain dan masyarakat. Saya belum pernah pergi ke kota Jayapura, tetapi bukanlah sikap irasional kalau saya yakin bahwa kota itu ada; kalau pun saya pernah bermaksud pergi ke sana, saya tetap tidak dapat mengecek sendiri apakah kota itu betul-betul terletak di pantai utara Irian Jaya dan bahwa kota itu memang Jayapura. Adalah tidak bertentangan dengan sikap rasional, kalau kita dalam banyak hal mengandalkan pendapat orang lain, adat kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri (yang kadang-kadang lebih dapat dipercayai daripada sekedar pikiran pintar yang masuk ke kepala kita). Sikap rasional tidak menuntut kita untuk membuktikan segala-galanya sebelum kita mengandaikannya (misalnya, apakah sebuah jembatan yang akan kita lewati betul-betul masih cukup kuat). Tetapi, apabila pendapat atau pengandaian kita memang dipersoalkan, kita tidak boleh menjawabnya dengan mengacu kepada kebiasaan, kepercayaan, perasaan, pendapat orang atau otoritas di sekeliling kita, melainkan mencari pertimbangan-pertimbangan yang dapat dimengerti dan dicek oleh orang lain untuk menanggapi keberatan itu.

Jadi, sikap rasional itu kelihatan dalam tantangan. Orang yang bersikap tidak rasional adalah orang yang menolak tantangan semata-mata karena keyakinannya. Sedangkan orang yang bersikap rasional adalah orang yang betul-betul memperhatikan, memeriksa dan menjawabnya.

Sikap rasionalisme lebih dari itu. Seorang rasionalis tidak menerima sesuatu apapun yang tidak dibuktikan. Maka ia tidak dapat percaya pada cinta orang lain, pada pengalaman masyarakat yang tertuang dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak percaya pada wahyu. Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat mengertinya. Padahal Allah dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian ciptaan. Maka rasionalisme adalah lawan agama.

Akan tetapi, seperti saya tunjukkan di atas, rasionalisme sebenarnya irasional. Karena, ia bertolak dari sebuah pengandaian yang justru tidak mungkin terpenuhi : Yaitu bahwa segala sesuatu dapat dimengerti seseorang. Seorang rasionalis yang taat azas sebetulnya tidak dapat berbuat sesuatu apa pun karena segala perbuatan mengandaikan hal-hal yang tidak dapat dicek (dapatkah ia mengecek setiap kali mau makan, apakah dalam makanan itu tidak ada racun?)

Yang harus dituntut adalah sikap rasional, sebagaimana mau saya Derlihatkan di bawah, dan bukan sikap rasionalisme.

Fideisme adalah kebalikan dari rasionalisme. Fideisme (dari kata Latin ':fides", iman) adalah sikap membatasi diri pada iman akan wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu.

Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak peduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau paham-paham baru yang diramaikan. la dapat juga berwujud pandangan dunia yang secara prinsipiil menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu Allah.

Sikap terakhir itu menjadi fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu.

Fideisme pada hakekatnya tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar adalah juga ciptaan Tuhan yang diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan yang baik. Kecuali itu, fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara hasil nalar dan wahyu ilahi mesti ada pertentangan.

Relativisme dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua kebenaran : Ada kebenaran agama dan ada kebenaran nalar. Dua-duanya boleh bertentangan. Misalnya, sebagai orang bernalar, seseorang menerima ajaran Darwin tentang evolusi jenis-jenis makhluk hidup di dunia selama beratus-ratusjuta tahun. Sedangkan sebagai orang beriman kristiani, ia percaya bahwa dunia diciptakan sekitar 7000 tahun lalu dalam waktu tujuh hari.

Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga sikap ekstrem itu. Relativisme melepaskan paham kebenaran sama sekali. Menurut prinsip non-kontradiksi, sesuatu itu sejauh ada, tidak mungkin tidak ada. Kalau bumi kita sudah berumur beratus-ratus juta tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang bumi berumur antara 4 dan 5 milyar tahun), maka tak mungkin bumi baru mulai berada, melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang lalu. Dan sebaliknya. Relativisme merupakan penyerahan klaim atas pengetahuan yang benar. Maka, menurut relativisme, Allah itu sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada. Sikap ini membuat mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.

2. Pandangan seimbang

Apabila kita meninjau kembali rasionalisme, fideisme dan relativisme, maka menjadi jelas bahwa kesalahan dasar sikap-sikap itu terletak pada ketidakseimbangannya. Yang kita cari adalah sikap seimbang. Sikap seimbang adalah sikap yang dapat menerima serta menanggapi unsur-unsur benar dalam tiga sikap ekstrem itu, tetapi menghubungkannya satu sama lain.

Kita mulai dengan fideisme. Fideisme mementingkan iman, percaya kepada wahyu ilahi. Kalau orang percaya kepada Allah, ia langsung akan mengakui bahwa sikap dasar fideisme itu benar. Kalau Allah memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik sebagai kebenaran, maupun dalam kekuasaan untuk bertindak. Maka sabda Allah adalah mutlak benar dan merupakan pegangan mutlak bagi manusia. Wajarlah orang beriman mendasarkan hidupnya atas wahyu Allah.

Akan tetapi, justru kemutlakan Allah itulah yang seharusnya membuat kaum fideis sadar bahwa kemampuan manusia untuk bernalar perlu dipergunakan, bahkan ia berdosa terhadap Allah Pencipta apabila ia tidak mau bernalar. Mengapa ?

Karena, segala apa yang ada adalah ciptaan Allah, termasuk akal budi dengan kemampuannya untuk bernalar. Jadi, akalbudi dan wahyu berasal dari sumber yang sama, dari Allah. Dan oleh karena itu, tidak mungkin dua-duanya secara prinsipiil bertentangan.

Jadi, adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan nalarnya secara benar, artinya secara terbuka, kritis, mendalam, ia sampai pada hasil yang bertentangan dengan wahyu. Karena semuanya berasal dari sumber yang sama, maka hanya ada satu kebenaran. Itu juga berarti bahwa adalah tidak tepat kalau hubungan nalar-wahyu dirumuskan begini : Pakailah nalar sejauh tidak menyangkut isi wahyu. Hakekat nalar manusia adalah mencari kebenaran. Seseorang akan berdosa apabila pencarian kebenaran diputuskan begitu saja pada titik tertentu. Berdosa terhadap kehendak Dia yang menciptakan nalar itu.

Maka, semua pemecahan konflik wahyu-nalar yang berpola : Kurangilah, atau hentikanlah penalaran, jangan bernalar secara radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah terhadap nalar, salah secara moral karena membuka pintu pada sikap munafik dan bohong, dan salah secara keagamaan karena menyangkal bahwa nalar berasal dari Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa semakin alim seseorang, semakin ia tidak berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui.

Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar manusia? Atas pengandalan di atas, sebenarnya tidak boleh ada perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat sementara. Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak pernah sempurna, tidak pernah menangkap seluruh kebenaran. la suka melihat satu sudut dan melupakan yang satunya. la terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana pertentangan sementara itu? Pertentangan antara wahyu dan nalar dapat berasal dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak wahyu.

Di satu pihak, nalar dapat melampaui batasnya. Teori ilmu pengetahuan moderen membuat kita sangat sadar akan keterbatasan nalar. Misalnya saja, pernyataan atheisme bahwa "Allah tidak ada" menurut metodologi sekarang tidak rasional. Kalau Allah ada, maka Allah mengatasi nalar manusia, maka baik adanya maupun tidak adanya tidak dapat dipastikan melalui nalar belaka.

Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu sendiri. Wahyu sendiri tidak dapat salah karena wahyu adalah Sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap dan mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu manusia mau tak mau mempergunakan nalar yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau dalam filsafat. Jadi dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa yang dianggap wahyu, karena manusia menyebut sesuatu kebenaran wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya. Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan nalar, melainkan antara tafsiran nalar manusia tentang wahyu dan hasil nalar manusia lain.

Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada pertentangan, pertentangan itu sebenarnya tak pernah terjadi antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu (yang berusaha mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu) dengan nalar yang lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari).

Ada pertimbangan tambahan. Wahyu dan nalar berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah. Maka dua-duanya wajib dipakai dengan sebaik- baiknya, tetapi menurut maksudnya masing-masing.

Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar supaya ia mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar diberikan untuk hal-hal yang terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam jangkauan nalar adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka nalar itu dipanggil untuk mencari pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan men- dalam tentang seluruh alam ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan cara masing-masing untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah nalar adalah manusia sendiri, alam inderawi dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat "dikuasai" oleh nalar .Satu-satunya yang dapat dicapai nalar menuju Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak kebesaran Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang sebenarnya, bagaimana hidup batin Allah, apa yang menjadi kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap manusia, itu semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia (Mengapa? Karena nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan Allah yang justru tak terbatas/tak terhingga tidak teljangkau olehnya).

Pertimbangan ini menunjukkan juga untuk tujuan apa Allah berkenan menurunkan wahyunya. Kiranya tidak untuk memberitahukan hal-hal yangjuga dapat diselidiki dan diketahui melalui nalaryangjustru juga diberikan oleh Allah. Seakan-akan wahyu mau membuat manusia malas bernalar saja. Melainkan, wahyu kiranya diberikan kepada manusia untuk mengetahui hal-hal yang justru tidak, dan tidak pernah, dapat diketahui dengan nalar, yaitu tentang Allah sendiri sebagaimana disebutkan di atas. Karena skap Allah menyangkut manusia yang masih berada dalam dunia, maka dalam wahyu juga terdapat hal-hal yang menyangkut dunia (terutama apa yang menjadi tanggungjawab serta kewajiban manusia dalam hidupnya di dunia, jadi bidang moralitas) tetapi bukan sebagai pemberitahuan tentang dunia, melainkan tentang sikap Allah terhadapnya. Akan tetapi, wahyu tidak bermaksud memberikan informasi tentang hal-hal yang juga dapatkita selidiki melalui ilmu pengetahuan, melainkan tentang hal yang memang tidak dapat diselidiki melalui ilmu pengetahuan, tentang Allah sendiri.

Oleh karena itu dapat juga dikatakan begini : Apabila nalar mau menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling fundamental seperti misalnya: Siapakah Allah, apa kehendak dan sikap Allah terhadap manusia, apa tujuan terakhir manusia, nalar tidak memadai dan mudah salah tafsir, sombong dan menyesatkan. Dan sebaliknya,jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia : Misalnya apakah matahari mengitari bumi atau sebaliknya, bagaimana urutan terjadinya organisme-organisme hidup di bumi (yang ditegaskan dalam wahyu ialah bahwa ada dunia dan bahwa adahidup serta bahwa hidup dapat berkembang akhirnya berdasarkan keputusan Allah), tetapi juga manakah struktur-struktur psikis dan sosial manusia, manakah struktur-struktur ekonomis dan politis yang paling cocok agar manusia hidup dengan sejahtera; semua hal ini kita carijawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman kita, dengan bantuan ilmu pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan yang sebetulnya tak benar.

Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui. Justru orang yang mantap karena berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis dan mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut hemat saya, kita tidak boleh memberikan kesan bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis, semakin agama berada dalam bahaya.
(www.cybermq.com)

Baca juga:
Kedudukan Filsafat dalam Struktur Ilmu Agama Islam
Filsafat dan Agama
Filsafat Agama
Filsafat Islam
Agama, Filsafat dan Ilmu